Sabtu, 03 Januari 2015

TUGAS 4 MORALITAS KORUPTOR



ABSTRAK

Penulisan yang berjudul “Moralitas Koruptor “ ini membahas tentang membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggungjawab. Makalah ini dilatarbelakangi oleh maraknya tindakan korupsi terutama dalam bidang bisnis. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi dan dampak yang diakibatkan korupsi dalam dunia bisnis. Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa dampak korupsi dalam bidang bisnis diantaranya akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Dalam penulisan ini saran yang diberikan yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap individu sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga mempertimbangkan kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan moral bisa dilakukan sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan mencoba untuk tidak melakukan korupsi dalam hal-hal kecil.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
            Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
            Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak.
            Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya tetapi sudah membudidaya.
            Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.

1.2              Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
1.      Mengapa korupsi bisa terjadi ?
2.      Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis ?
3.      Siapa yang harus bertanggungjawab ?

1.3              Batasan masalah
Batasan masalah penulisan ini adalah hanya terbatas membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggungjawab.

1.4              Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggungjawab.





BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
            Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
            Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.

 2.1.1   Moralitas Obyektif
            Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
            Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
            Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.


2.1.2    Moralitas Subyektif
            Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
            Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
            Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!

2.2       Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan dalam bidang apapun baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.

2.2.1    Konsep Korupsi
Korupsi berasal dari kata Corruption yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruption berarti penyogokan. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan­-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim dalam Lubis menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.

2.2.2    Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi
  1. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
  3. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
  4. Rendahnya  pendapatan penyelenggara Negara.  Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
  5. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.  Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
  7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
  8. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi.  Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  9. Gagalnya pendidikan agama dan etika.  Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.  Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.  Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005.
2.2.3    Jenis – Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.
3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan metode searching di Internet, yaitu dengan membaca referensi – referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini.
Penulis juga memperoleh data dari pengetahuan yang penulis ketahui. Selain itu penulis juga mencari data melalui media elektronik seperti menonton acara berita yang secara tidak sengaja membahas tentang moralitas koruptor.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1       Pembahasan Masalah
            Akhir – akhir ini, banyak berita mengenai kasus korupsi yang ada di media, mulai dari kalangan atas (pejabat, wakil rakyat, dll), kalangan menengah (PNS, karyawan, dll) dan kalangan bawah. Bukan hanya materi berbentuk uang yang bisa dikorupsi, tetapi waktupun juga dapat dikorupsi. Misalnya jam kerja dimulai dari jam delapan hingga jam empat sore, tetapi banyak karyawan yang sudah pulang dari jam empat kurang. Itulah contoh korupsi sederhana yang mungkin biasa dilakukan tanpa disadari.
Pengertian dari korupsi adalah perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja karena suatu kepentingan atau tujuan. Korupsi berasal dari dua kata “com” dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk secara kolektif. Pandangan secara umum, korupsi merupakan manipulasi uang Negara oleh pejabat pemerintah. Beberapa bentuk korupsi, seperti:
  1. Manipulasi
  2. Suap / penyogokan
  3. Penyalahgunaan kekuasaan
  4. Nepotisme
  5. Dll
Bentuk atau praktik korupsi yang paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu suap atau biasa dikenal penyogokan. Suap di Indonesia sudah semakin marak dilakukan, bahkan semakin menjadi. Sogokan atau suap tidak hanya terjadi pada instansi pemerintah dan pelaku bisnis saja, tetapi juga dalam hubungan antara pelaku bisnis maupun dalam kehidupan sehari – hari.
Dampak dari suap dan korupsi terlihat dalam kondisi makro perekonomian Indonesia. Untuk tahun 2004 Indonesia dipersepsikan berada diurutan ke 6 sebagai negara korupsi dari indeks persepsi korupsi. Dampak berupa kebocoran dalam arus dana perekonomian Indonesia sangat tinggi karena sifat perekonomiannya menjadi ekonomi mencari ‘rente’ (rentseeking). Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi, khususnya bisnis di Indonesia telah hilang dan menjadi milik pribadi.
Contoh kebocoran arus dana yang berkaitan dalam kegiatan bisnis dapat terjadi dibeberapa titik, seperti:
1. Dana pemerintah untuk pemasokan barang, jasa dan proyek yang dialirkan ke bisnis
2. Dana bisnis untuk pembayaran pajak, perolehan berbagai izin dan hak spesial lainnya dari pemerintah
3. Dana masyarakat untuk investasi yang mengalir ke bisnis dikenakan ‘markup’
4. Dana yang mengalir untuk transaksi antar – bisnis

Efek suap yang utama adalah timbulnya biaya yang tinggi dan berakibat makin tingginya nilai harga barang dan jasa karena harus menutup biaya tidak langsung yang berkaitan dengan proses produksi barang dan jasa. Oleh karena itu, konsumen akan dirugikan. Penyuapan semakin meningkatkan ketidakpastian karena persaingan pasar sudah menjadi tidak sehat. Keberhasilan tergantung pada kekuatan dan kesanggupan melawan suap, bukan peningkatan kualitas produk dan jasa.
Suap merupakan penawaran atau penerimaan hadiah, pinjaman, pembayaran, imbalan atau keuntungan lainnya yang ditujukan kepada siapapun sebagai bujukan untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak sah atau pelanggaran kepercayaan, dalam tindakan berbisnis. Tindakan suap atau penyogokan merupakan upaya mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar dan tidak sah. Yang dimaksud dengan ‘tidak wajar’ dan ‘tidak sah’ adalah ketika terjadi konversi dana atau barang yang diberikan menjadi kekuasaan untuk mengambil keputusan yang bersifat tidak adil dan tidak transparan.
Suap merupakan tindakan yang bukan saja tidak mengikuti kaidah etika bisnis tetapi juga memiliki implikasi hukum, khususnya bila suap dilakukan pada pegawai negeri atau pejabat negara sebagaimana tertuang dalam naskah Undang Undang 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa faktor yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu:
1.                  Faktor kebutuhan
Merupakan faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk memiliki sesuatu namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
2.                  Faktor tekanan
Merupakan faktor yang biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau bahkan atasan sendiri yang tidak bisa dihindari.
3.                  Faktor kesempatan
Merupakan faktor yang biasanya dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya, walaupun dengan cara yang salah dan melanggar undang – undang.
4.                  Faktor rasionalisasi
            Merupakan faktor yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati / walikota, ditingkat kabupaten / kota atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila memiliki rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia seorang pejabat pemerintahan.
            Untuk menangani hal di atas, diperlukan dukungan dan tindak yang tegas baik dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakat sekitar. Adanya sanksi hukum yang jelas, terbuka, transparan dengan kedudukan yang sama untuk setiap orang, baik pejabat atau masyarakat.
            Dampak korupsi terhadap bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
            Bagi perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri sendiri.
Pengaruh Korupsi terhadap kegiatan bisnis :
  •  Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
  • Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
  •  Korupsi menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
  •  Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Cara Memberantas Tindak Pidana Korupsi :
  •  Strategi Preventif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-halyang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yangterindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkanpenyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapatmeminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya inimelibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil danmampu mencegah adanya korupsi.
  • Strategi Deduktif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agarapabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebutakan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya danseakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengandasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepatmemberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangatmembutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
  • Strategi Represif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkanuntuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepatkepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiranini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikandan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapatdisempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebutdapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harusdilakukan secara terintregasi.
4.2  Contoh Kasus

Kasus yang ada di indonesia saat ini adalah :
1. KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
·         Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi. Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro, Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
·         “Ya, benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya, Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel. (Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
·         Menurut Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja, kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
·         Terhitung 11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel. Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan suami Airin.

2. Ini alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus suap SKK Migas
·         Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya memang tengah mendalami peran PT Pertamina dalam kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK memanggil Direktur Utama Karen G Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.
·         “Jadi memang kami mempelajari keterlibatan Pertamina dalam penjualan, pelelangan, tender di SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin (18/11) malam.
·         Menurut Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka. Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut belakangan ini dari keterangan dan pemeriksaan kasus ini.
·         “Dia kan muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.
·         Namun, Busyro belum berani memastikan apakah Karen akan menjadi tersangka berikutnya. Karena Karen masih baru menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali dipanggil KPK.
·         “Karen ini kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.
·         Dalam dakwaan Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei 2013 PT Pertamina mengikuti rapat bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas dan SKK Migas. Rapat itu disimpulkan, Kondensat Senipah bagian negara dengan volume 300 ribu barel tidak dapat diolah Kilang Pertamina. Sebab, adanya keterbatasan penyerapan kilang atas volume Kondensat Senipah yang tersedia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pendapatan negara, maka rapat memutuskan dilakukan lelang terhadap Kondensat Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk mendapat penawaran terbaik. Dalam dakwaan Simon juga terungkap Kernel Oil menyuap buat mendapat jatah Kondensat Senipah. PT Pertamina juga diketahui pernah bekerja sama dengan PT Parna Raya Group dalam pengadaan BBM bersubsidi untuk nelayan. Komisaris PT Parna Raya Artha Meris Simbolon sendiri, saat ini pun telah dicegah KPK.
  
3.    Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi !!
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1       Kesimpulan
·         Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.
·         Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
·         Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).

5.2 Saran
·         Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).


DAFTAR PUSTAKA