ABSTRAK
Penulisan yang berjudul “Moralitas Koruptor “ ini
membahas tentang membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana
dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus
bertanggungjawab. Makalah ini dilatarbelakangi oleh maraknya tindakan korupsi
terutama dalam bidang bisnis. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan
berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet.
Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata ada beberapa faktor yang
dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi dan dampak yang diakibatkan
korupsi dalam dunia bisnis. Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa dampak
korupsi dalam bidang bisnis diantaranya akan membebankan perusahaan
seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari
sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Dalam penulisan ini saran yang
diberikan yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap individu sehingga
tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga mempertimbangkan
kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan moral bisa dilakukan
sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan mencoba untuk tidak
melakukan korupsi dalam hal-hal kecil.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akhir-akhir
ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam
media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan
pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro adapula
yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan
dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada
hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan,
dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada
umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin
dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian
yang eksak.
Namun
karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terusmeningkat dari tahun ke tahun
bak jamur di musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa
merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya membudaya
tetapi sudah membudidaya.
Disamping
itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses
perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap
hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit
yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status
sosial yang tinggi dimata masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
1.
Mengapa
korupsi bisa terjadi ?
2.
Bagaimana
dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis ?
3.
Siapa yang
harus bertanggungjawab ?
1.3 Batasan masalah
Batasan
masalah penulisan ini adalah hanya terbatas membahas mengapa korupsi bisa
terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang
harus bertanggungjawab.
1.4 Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan ini yaitu untuk mengetahui membahas mengapa korupsi bisa terjadi,
bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus
bertanggungjawab.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa
yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.”
Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan
sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan
berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor
pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan
yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka
nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah
kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara
lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah
untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang
baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik,
budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.
2.1.1 Moralitas Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan
bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan
dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk
berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma,
dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud
aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan
yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya
undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya,
manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai
sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika
secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.1.2 Moralitas
Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati
sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia
mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan,
dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini
tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi
moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK,
melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika
seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena
hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi
dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman
obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan
setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang
dijatuhkan nurani manusia!
2.2 Pengertian Korupsi
Korupsi
berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah
dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak
bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan.
Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah
atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini
dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat
penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo
(1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab
kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan,
kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi
mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan
(non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain
pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada
modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada
pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain.
Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas
hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada
istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang
menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri
sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian,
korupsi merupakan tindakan yang merugikan dalam bidang apapun baik secara
langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif,
korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal,
norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi
sebagai tindakan yang buruk.
2.2.1 Konsep
Korupsi
Korupsi berasal
dari kata Corruption yang berarti kerusakan.
Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruption berarti penyogokan. Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain. Korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu
tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan
penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain
yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari
struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan
kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim dalam
Lubis menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi
bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia
mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk
dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan
yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
2.2.2 Faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi
- Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
- Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005.
2.2.3 Jenis – Jenis Korupsi
Menurut UU.
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh
jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara
ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian
keuntungan Negara
2.
Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3.
Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan
curang
6. Benturan
kepentingan dalam pengadaan
7.
Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
Selanjutnya
Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi,
yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive
corruption)
Jenis
korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak
pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif
mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive
corruption)
Pemerasan
adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk
mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu
yang berharga baginya.
3. Korupsi defensif (defensive
corruption)
Orang yang
bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat
atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam
rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive
corruption)
Pemberian
barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5. Korupsi perkerabatan atau
nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis
korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau
teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang
bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang,
fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic
corruption)
Bentuk
korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive
corruption)
Korupsi yang
dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang
akan dilaksanakan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang digunakan
dalam tugas ini, penulis menggunakan metode searching di Internet, yaitu dengan
membaca referensi – referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam
tugas ini.
Penulis juga
memperoleh data dari pengetahuan yang penulis ketahui. Selain itu penulis juga
mencari data melalui media elektronik seperti menonton acara berita yang secara
tidak sengaja membahas tentang moralitas koruptor.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Masalah
Akhir – akhir ini, banyak berita
mengenai kasus korupsi yang ada di media, mulai dari kalangan atas (pejabat,
wakil rakyat, dll), kalangan menengah (PNS, karyawan, dll) dan kalangan bawah.
Bukan hanya materi berbentuk uang yang bisa dikorupsi, tetapi waktupun juga
dapat dikorupsi. Misalnya jam kerja dimulai dari jam delapan hingga jam empat
sore, tetapi banyak karyawan yang sudah pulang dari jam empat kurang. Itulah
contoh korupsi sederhana yang mungkin biasa dilakukan tanpa disadari.
Pengertian dari korupsi adalah perbuatan merusak
sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja karena suatu kepentingan atau tujuan.
Korupsi berasal dari dua kata “com” dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk
secara kolektif. Pandangan secara umum, korupsi merupakan manipulasi uang
Negara oleh pejabat pemerintah. Beberapa bentuk korupsi, seperti:
- Manipulasi
- Suap / penyogokan
- Penyalahgunaan kekuasaan
- Nepotisme
- Dll
Bentuk atau praktik korupsi yang paling sering
dilakukan di Indonesia, yaitu suap atau biasa dikenal penyogokan. Suap di
Indonesia sudah semakin marak dilakukan, bahkan semakin menjadi. Sogokan atau
suap tidak hanya terjadi pada instansi pemerintah dan pelaku bisnis saja,
tetapi juga dalam hubungan antara pelaku bisnis maupun dalam kehidupan sehari –
hari.
Dampak dari suap dan korupsi terlihat dalam kondisi
makro perekonomian Indonesia. Untuk tahun 2004 Indonesia dipersepsikan berada
diurutan ke 6 sebagai negara korupsi dari indeks persepsi korupsi. Dampak
berupa kebocoran dalam arus dana perekonomian Indonesia sangat tinggi karena
sifat perekonomiannya menjadi ekonomi mencari ‘rente’ (rentseeking).
Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dan
peningkatan kegiatan ekonomi, khususnya bisnis di Indonesia telah hilang dan
menjadi milik pribadi.
Contoh
kebocoran arus dana yang berkaitan dalam kegiatan bisnis dapat terjadi
dibeberapa titik, seperti:
1. Dana
pemerintah untuk pemasokan barang, jasa dan proyek yang dialirkan ke bisnis
2. Dana
bisnis untuk pembayaran pajak, perolehan berbagai izin dan hak spesial lainnya
dari pemerintah
3. Dana
masyarakat untuk investasi yang mengalir ke bisnis dikenakan ‘markup’
4. Dana yang
mengalir untuk transaksi antar – bisnis
Efek suap yang utama adalah timbulnya biaya yang
tinggi dan berakibat makin tingginya nilai harga barang dan jasa karena harus
menutup biaya tidak langsung yang berkaitan dengan proses produksi barang dan
jasa. Oleh karena itu, konsumen akan dirugikan. Penyuapan semakin meningkatkan
ketidakpastian karena persaingan pasar sudah menjadi tidak sehat. Keberhasilan
tergantung pada kekuatan dan kesanggupan melawan suap, bukan peningkatan
kualitas produk dan jasa.
Suap merupakan penawaran atau penerimaan hadiah,
pinjaman, pembayaran, imbalan atau keuntungan lainnya yang ditujukan kepada
siapapun sebagai bujukan untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak sah
atau pelanggaran kepercayaan, dalam tindakan berbisnis. Tindakan suap atau
penyogokan merupakan upaya mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak
wajar dan tidak sah. Yang dimaksud dengan ‘tidak wajar’ dan ‘tidak sah’ adalah
ketika terjadi konversi dana atau barang yang diberikan menjadi kekuasaan untuk
mengambil keputusan yang bersifat tidak adil dan tidak transparan.
Suap merupakan tindakan yang bukan saja tidak
mengikuti kaidah etika bisnis tetapi juga memiliki implikasi hukum, khususnya
bila suap dilakukan pada pegawai negeri atau pejabat negara sebagaimana
tertuang dalam naskah Undang Undang 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa
faktor yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu:
1.
Faktor kebutuhan
Merupakan
faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk
memiliki sesuatu namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya.
2.
Faktor tekanan
Merupakan
faktor yang biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau
bahkan atasan sendiri yang tidak bisa dihindari.
3.
Faktor kesempatan
Merupakan
faktor yang biasanya dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan
memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya,
walaupun dengan cara yang salah dan melanggar undang – undang.
4.
Faktor rasionalisasi
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati / walikota, ditingkat kabupaten /
kota atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila
memiliki rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia seorang pejabat
pemerintahan.
Untuk menangani hal di atas,
diperlukan dukungan dan tindak yang tegas baik dari pemerintah sendiri maupun
dari masyarakat sekitar. Adanya sanksi hukum yang jelas, terbuka, transparan
dengan kedudukan yang sama untuk setiap orang, baik pejabat atau masyarakat.
Dampak korupsi terhadap bisnis dan
perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan
meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan
ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang
dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi
oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi perusahaan swasta, korupsi
berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat
sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran
suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari
kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam persaingan
memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan – perusahaan
yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya yang ada pada
perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang
jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin
memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk kepribadian
masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri sendiri.
Pengaruh
Korupsi terhadap kegiatan bisnis :
- Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
- Korupsi menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
- Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Cara Memberantas Tindak Pidana Korupsi :
- Strategi Preventif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-halyang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yangterindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkanpenyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapatmeminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya inimelibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil danmampu mencegah adanya korupsi.
- Strategi Deduktif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agarapabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebutakan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya danseakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengandasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepatmemberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangatmembutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
- Strategi Represif. Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkanuntuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepatkepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiranini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikandan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapatdisempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebutdapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harusdilakukan secara terintregasi.
4.2 Contoh Kasus
Kasus yang ada di indonesia saat ini adalah :
1. KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
·
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro
Muqoddas memberi sinyal terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam
kasus dugaan korupsi. Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang
dimaksud, tapi menurut Busyro, Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa
diminta pertanggungjawaban.
·
“Ya, benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata
Busyro di gedung kantornya, Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut,
Busyro terlebih dahulu bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang
Selatan dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di
Pemerintah Kota Tangsel. (Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
·
Menurut Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel,
penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat
pejabat pembuat komitmen. “Cara kerja KPK, semua dimulai dari bawah,
minggir-minggir-minggir, langsung nabrak ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi
contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang
yang pertama ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang
karakter kerja KPK. Tunggu saja, kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
·
Terhitung 11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang
dalam kasus alkes Tangsel. Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak
Jamaksari, petinggi PT Mikkindo Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri
Wardana alias Wawan, yang merupakan suami Airin.
2. Ini alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus
suap SKK Migas
·
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya
memang tengah mendalami peran PT Pertamina dalam kasus dugaan suap di
lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK memanggil Direktur Utama Karen G
Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.
·
“Jadi memang kami mempelajari keterlibatan Pertamina
dalam penjualan, pelelangan, tender di SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin
(18/11) malam.
·
Menurut Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan
sejumlah saksi dan tersangka. Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut
belakangan ini dari keterangan dan pemeriksaan kasus ini.
·
“Dia kan muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.
·
Namun, Busyro belum berani memastikan apakah Karen
akan menjadi tersangka berikutnya. Karena Karen masih baru menjalani
pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali dipanggil KPK.
·
“Karen ini kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.
·
Dalam dakwaan Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei
2013 PT Pertamina mengikuti rapat bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas
dan SKK Migas. Rapat itu disimpulkan, Kondensat Senipah bagian negara dengan
volume 300 ribu barel tidak dapat diolah Kilang Pertamina. Sebab, adanya
keterbatasan penyerapan kilang atas volume Kondensat Senipah yang tersedia.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pendapatan negara, maka rapat memutuskan
dilakukan lelang terhadap Kondensat Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk
mendapat penawaran terbaik. Dalam dakwaan Simon juga terungkap Kernel Oil
menyuap buat mendapat jatah Kondensat Senipah. PT Pertamina juga diketahui
pernah bekerja sama dengan PT Parna Raya Group dalam pengadaan BBM bersubsidi
untuk nelayan. Komisaris PT Parna Raya Artha Meris Simbolon sendiri, saat ini
pun telah dicegah KPK.
3.
Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi !!
Salah satu
isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia
adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi
di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia
disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah
ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat
tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan
yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam
dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui
berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek
korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara,
dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan
pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing,
terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara
efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal,
ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas
Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan
pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara
negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek
korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian
Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi
Indonesia (MTI).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
·
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap
meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja
diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat
memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau
memenangkan perkara hukum.
·
Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat
mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang
korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang
lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat
darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah
para koruptor ini.
·
Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia
dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif
pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap
manusia).
5.2 Saran
·
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis.
Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat,
hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan
menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi
pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi
perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih
terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang
berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak
pidana korupsi (tipikor).
DAFTAR PUSTAKA